Entri Populer

Minggu, 23 Januari 2011

Perpecahan Islam Sunni-Shiah

Bagi orang luar, perbedaan-perbedaan antara sekte Muslim Sunni dan Shiah sulit untuk dikenali.

Lima rukun Islam – shalat lima waktu; berpuasa selama bulan Ramadan; zakat; haji ke Mekkah; dan keyakinan pada Tuhan yang Esa – merupakan inti dari kedua keyakinan, dan kebanyakan ulama arus utama di masing-masing golongan mengakui penganut dari pihak lain sebagai Muslim yang "sah".

Al Qur'an merupakan kitab suci bagi keduanya. Mereka percaya bahwa Muhammad adalah rasul dan bahwa akan ada hari akhir yang diikuti oleh hari perhitungan ketika dunia kiamat.

Ikut menambahkan potensi kebingungan adalah desakan banyak umat Muslim untuk tidak disebut sebagai Shiah atau Sunni, dengan mengatakan bahwa mereka adalah umat Muslim dan hanya Muslim.

Tetapi, seperti yang diperlihatkan oleh peristiwa-peristiwa belakangan ini di Irak dan Lebanon, perbedaan-perbedaan antara para penganutnya tidak hanya dilihat penting oleh masyarakat, seperti yang telah berlangsung selama berabad-abad, tetapi mereka berada pada inti perjuangan politik yang berlumuran darah.

Walaupun ada perbedaan-perbedaan di permukaan antara kedua sekte – perbedaan dalam shalat dan berwudhu, misalnya–arena konflik antara keduanya sejak dulu selalu bersifat politis.

Perpecahan antara kedua cabang utama Islam tersebut berusia hampir 1.400 tahun, dan berawal dengan sebuah perjuangan tentang siapa yang seharusnya memimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632. Satu pihak percaya bahwa keturunan langsung nabi seharusnya menjadi khalifah – pemimpin bagi umat dunia. Mereka dikenal sebagai Shiah-Ali, atau "pendukung Ali", mengikuti nama sepupu dan menantu nabi, Ali, yang mereka inginkan sebagai khalifah. Dengan berjalannya waktu, mereka cukup dikenal sebagai kaum Shiah.

Di sisi lain, kaum Sunni, berpendapat bahwa siapapun orang yang mampu dapat memimpin umat, tanpa memandang keturunan, dan mendukung Abu Bakar, salah seorang pertama yang memeluk Islam yang telah menikahi anggota keluarga Muhammad. "Sunni" berasal dari kata bahasa Arab yang berarti "pengikut" dan merupakan singkatan dari "pengikut nabi".

Kaum Shiah akhirnya merupakan pihak yang kalah dalam perjuangan kekuasaan yang berlangsung selama beberapa dekade, sebuah kenyataan yang sekarang tercermin pada status minoritas mereka dalam Islam global.

Tetapi walaupun perang saudara yang saat ini bekecamuk antara kaum Shiah dan Sunni di Irak terkadang dianggap sebagai sebuah perluasan dari perjuangan keagamaan berusia tua ini, konflik yang terjadi sekarang menyangkut hal yang sedikit berbeda.

Walau perbedaan keagamaan merupakan kenyataan dan tetap penting artinya, perpecahan antara Shiah dan Sunni di Irak, selain menyangkut identitas kelompok, juga menyangkut perbedaan-perbedaan cara peribadatan yang tepat.

Di Irak, banyak kaum Sunni dan Shiah yang sebenarnya bukan umat yang taat beribadah ikut berpartisipasi dalam pertumpahan darah, berjuang untuk memenangkan kepentingan kelompok.

"Saya pikir faktor-faktor pembeda antara penganut kelompok Sunni dan Shiah yang semakin penting, dalam banyak hal tidak bersangkutan dengan urusan keagamaan,'' kata Barbara Petzen, seorang ahli pada Pusat Kajian Timur Tengah, Harvard University.

Namun, ada beberapa perbedaan keagamaan kunci. Pemujaan Shiah terhadap keluarga suci, yaitu keturunan Muhammad, telah menyumbangkan terciptanya sebuah majelis ulama yang lebih terpusat dan hirarkis daripada dalam dunia Sunni.

Semua umat Shiah harus mengikuti ajaran seorang ayatullah tentang bagaimana mengikuti hukum Islam, atau shariah, dalam konteks modern. Bagi banyak orang di Irak, peran ini dijalankan oleh Ayatullah Ali al-Sistani.

Islam Sunni jauh lebih tidak tersentralisasi. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan antara Islam Sunni dan Shiah kelihatannya mendekati perbedaan-perbeadaan antara Gereja Katolik Roma dan kebanyakan golongan Protestan.

Walaupun merupakan mayoritas di Iran dan Irak, Shiah hanya mencakup 15 persen umat Muslim dunia. Sejarah kekalahan dan pendudukan mereka juga telah membawa pada pengkultusan kematian dan kesyahidan dalam Shiahisme.

Hari-hari raya utama Shiah merayakan kekalahan dan kesyahidan yang agung dari Imam Ali dan Imam Hussein, anak laki-laki Ali, yang ditandai oleh hari raya puncak Shiah, Ashura, yang memperingati pembunuhan atas Hussein dan pengikutnya di luar sebuah kota di Irak, Karbala, oleh seorang khalifah Sunni pada tahun 680.

Di Irak dan Iran, hari raya tersebut ditandai oleh prosesi panjang para laki-laki yang mengulang drama kecintaan dengan cara mencambuki diri sendiri dengan rantai sesuai irama tabuhan genderang.

Pernyataan kesalehan seperti itu dilihat dengan kemuakan oleh kelompok garis keras Sunni, seperti para ulama di Arab Saudi, yang memandang pemujaan terhadap Hussein dan anggota keluarga nabi lainnya sebagai pelanggaran atas prinsip monotheisme. Pandangan ini telah sering menyebabkan kelompok-kelompok ekstremis seperti Al Qaeda menyerang kaum Shiah sebagai orang kafir.

Kenyataan bahwa Shiah telah lama ditekan – pertama di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, kemudian di bawah negara-negara seperti Irak dan Arab Saudi – telah membawa pada sebuah identifikasi kuat dengan ketidakadilan yang diderita oleh Hussein, dan telah memberikan sebuah dimensi politik bagi peribadatan Shiah. Perayaan-perayaan Ashura, misalnya, dilarang di bawah kekuasaan Saddam Hussein, yang takut dapat menyebabkan pemberontakan secara spontan.

Salah satu perbedaan paling penting antara keyakinan Shiah dan Sunni adalah pemujaan terjadap para imam.

Kaum Shiah percaya bahwa ada 12 pewaris sah Muhammad sebagai khalifah, dan bahwa imam terakhir, sekarang disebut sebagai Mahdi, menghilang ketika ia diangkat ke dalam pelukan Tuhan. Banyak kaum Shiah percaya bahwa Mahdi akan kembali ke bumi satu saat dan memainkan peran sebagai penyelamat. Sebuah pertempuran antara kekuatan baik dan jahat akan terjadi, mengakhiri berkuasanya perdamaian seribu tahun dan akhir dunia.

Dalam praktiknya, ini terkadang membawa kepada retorika kewahyuan dari para pemimpin seperti Moqtada al-Sadr dari Irak dan Presiden Iran Mahmoud Ahmedinejad.

Tidak ada komentar: